Tanggal 8 November malam terasa seperti malam takbiran, aku tidak bisa
tidur! Tak sabar menunggu hari besok, hari perdana bersepeda jarak jauh dan
kami berencana berangkat dari kampus jam 5 subuh.
Pagi itu kokokan ayam di alarm handphone
cukup membuatku terkejut, aku terlambat bangun karena semalam tidak bisa tidur.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, dengan tergesa-gesa aku
berjalan meninggalkan kosanku menuju kampus.
Sesampainya di kampus ternyata sepeda belum selesai disetting, karena ternyata semalam sepeda dipinjam sampai jam 2
malam. Aku semakin gugup karena hari semakin siang, rencana berangkat jam 5
subuh pun gagal.
Tepat pukul 07.00 kami, aku dan sangke
bertolak dari kampus UPI menuju titik kumpul para Federalis Bandung, perempatan
Buah Batu – Soetta. Aku berdoa semoga perjalanan bersepeda jarak jauh pertamaku
berjalan lancar dan juga berdoa semoga aku tidak ditinggal oleh kelompok lain.
Belum terlalu jauh dari kampus, setang sepedaku longgar, karena jalanan
terus menerus menurun setang semakin tak nyaman. Setang butterflyku terus menerus menukik ke bawah membuat aku gugup dan
takut. Kami tidak membawa kunci-kunci untuk mensetting ulang, beruntung di
Cihampelas kami disapa bapak Federalis yang juga hendak menuju Gunung Puntang,
akhirnya setang sepedaku bisa diatur ulang. Kami pun bersama-sama menuju titik
berkumpul, perempatan Buah Batu – Soetta.
Ternyata kurang dari 45 menit kami sudah sampai di titik berkumpul, aku
kira sudah terlambat dan ditinggal rombongan yang lain. Ternyata disana masih ada
beberapa orang yang masih menunggu, lega karena seniorku pun ternyata belum
tiba di lokasi. Seminggu kemarin aku memang sudah meminta agar aku bisa ikut
dengan rombongan seniorku.
15 menit menunggu akhirnya beliau datang dan kami pun bertolak menuju Gunung
Puntang, aku gugup, takut tapi juga senang. Walau sepedaku dan sepeda sangke yang paling sederhana, tanpa
aksesoris seperti pesepeda lainnya dan packing-an
barang kami yang seadanya tapi kami menikmati perjalanan bersama sepeda-sepeda
keren lainnya.
Di daerah Baleendah rombongan kami berhenti untuk sarapan, sangke tertinggal di belakang karena
barang yang kami packing paburisat (baca: berantakan). Aku merasa bersalah
karena menggenjot sepeda terlalu cepat dan meninggalkan dia di belakang. Tapi tidak
lama akhirnya sangke datang, aku
bersyukur ternyata jarak kami tidak terlalu jauh. Selesai sarapan kami kemudian
mempacking ulang, teman-teman rombongan seniorku meminjamkan beberapa tali
untuk lebih menguatkan ikatan.
Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh. Rutenya
menuju pasar Banjaran dan kemudian menuju Cimaung untuk selanjutnya ke titik
akhir Gunung Puntang. Trek datar hanya kutemui sampai pasar Banjaran, mulai
dari Cimaung jalanan sudah mulai menanjak. Aku kayuh sepedaku sambil berkata
pada diri sendiri, “ini sama halnya seperti naik gunung nov, kamu harus tetap
tabah!”
Kali ini aku yang ditinggal sangke,
padahal sepeda yang aku pakai speednya
lebih banyak darinya, bebanku juga lebih ringan. Kesabaran benar-benar diuji,
hari yang semakin siang, matahari semakin naik dan asap kendaraan yang mengepul
terkadang membuatku ingin berhenti.
Setibanya di persimpangan menuju Gunung Puntang sudah banyak pesepeda lain,
dan ini lebih keren lagi mungkin sekitar 50 sepeda terparkir di pinggir jalan,
pemandangan yang keren bagiku. Sepeda-sepeda dan pemiliknya tersebar di
beberapa titik. Sambil menunggu pesepeda yang belum datang aku dan sangke melengkapi perbekalan yang kami
bawa, kami membeli bahan untuk membuat sambal dan juga beberapa sayuran.
Seorang bapak yang mungkin koordinator atau panitia dari acara ini kemudian
memberi komando kepada para pesepeda untuk segera melanjutkan perjalanan menuju
camp di Gunung Puntang. Kami semua serentak bersiap-siap untuk mengayuh sepeda
dan melahap tanjakan yang akan ditemui. Ini bukan kali pertamanya aku ke Gunung
Puntang, sedikit banyaknya aku sudah hafal bagaimana perkemahan Gunung Puntang
dan jalan menuju kesana. Jarak yang harus ditempuh mungkin sekitar 9 km dari
persimpangan tadi dan terus menanjak. Kucatat kami berhenti untuk istirahat
sampai 3x, dan yang terakhir adalah yang paling menggelikan.
Ketika melewati bumi perkemahan Pramuka, kebetulan sedang diselenggarakan
Persami Pramuka di tingkat SD, aku berhenti karena tergoda untuk membeli
cingcau. Ternyata bukan aku saja yang berhenti dan tergoda oleh cingcau itu,
hampir semua anggota rombongan seniorku berhenti termasuk seniorku. Ya, aku
lupa mengenalkan beliau, aku menyebutnya Kang Kelik tapi rombongannya memanggil
beliau Komandan, mungkin karena beliau yang paling tua. Setelah semua selesai
menyantap cingcau, Kang Kelik menghampiri pedagang cingcau bersamaan dengannya
seorang anak pramuka dari buper tersebut dan dengan polosnya si anak malah
memberikan uang kepada Kang Kelik mungkin ia pikir Kang Kelik adalah penjual
cingcau tersebut, sontak kami semua tertawa geli menertawakan beliau. Dengan
muka yang memerah buru-buru Kang Kelik mengajak kami untuk melanjutkan
perjalanan, mungkin beliau malu karena kami tertawakan.
Setelah kulahap cingcau yang menyegarkan itu, kugenjot lagi sepeda dengan
semangat dan harapan bahwa camp sudah
semakin dekat. Matahari semakin naik karena waktu sudah menunjukkan pukul 11.00
dan aku masih belum sampai. Aku tidak akan menyerah, aku tahu nanti semuanya
akan terbayar diatas sana. Sekarang aku yang memimpin, sangke tertinggal di belakang, mungkin karena sepeda dan bebannya
yang berat.
Sesampainnya di pintu masuk Gunung Puntang, aku dan sangke tidak langsung menuju camp.
Kami mampir sebentar di PGPI (Persaudaraan Gunung Puntang Indonesia), menjumpai
teman yang sebelumnya sudah kami beritahu akan kedatangan kami. Sambil mengisi
baterai handphone yang kosong kami
sholat dzuhur kemudian dijamu makan siang ala kadarnya. Rombongan yang lain
sudah menuju camp. Setelah mengobrol cukup lama, pukul 13.00
kami melanjutkan perjalanan menuju camp. Kali ini treknya berbatu, bukan lagi
aspal, dan aku tidak sanggup menggenjot sepeda di jalanan menanjak nan berbatu
itu. Kutuntun saja sepedaku sampai tiba di camp.
Suasana di sekitar camp cukup
ramai, ada kelompok pramuka dan ada juga mahasiswa dari Jurusan Kimia Unjani Cimahi
yang sedang mengospek mahasiswa barunya. Tenda-tenda sudah mulai berdiri, aku
yang tidak membawa shelter karena
sebelumnya sudah meminta ijin untuk nebeng
dengan seniorku mulai membantu mendirikan tenda dan memasang flysheet. Rasanya sudah lama sekali aku
tidak camping, dan kali ini
benar-benar berbeda. Aku menuju tempat camp
dengan bersepeda!
Selain ngobrol ngalor ngidul dan sharing
seputar sepeda dan touring, kegiatan
kami hanyalah memasak dan makan. Ketika malam datang api unggun mulai dibuat,
ada beberapa tenda yang terdengar penghuninya sudah mendengkur karena tidur
pulas dan ada juga beberapa tenda yang masih ramai mengobrol. Aku sendiri
memutuskan untuk beristirahat, beruntung ada Ibu Lisa, atlit sepeda uphill yang dengan baik hati menawarkan
untuk tidur di tendanya.
Keesokan paginya setelah semua peserta menyantap sarapannya masing-masing,
ada materi Pertolongan Gawat Darurat yang diberikan oleh pemateri dari PMI
Banjar. Dilanjutkan dengan perkenalan dan pembagian doorprize, ini acara puncaknya karena doorprize yang cukup banyak sudah dinantikan oleh para peserta.
Sebelum pembagian doorprize kami dipersilakan untuk memperkenalkan diri
terlebih dahulu. Kebanyakan peserta didominasi oleh laki-laki, perempuan yang
ikut bersepeda hanya aku dan Bu Lisa.
Ngomong-ngomong soal doorprize jujur aku berharap bisa mendapatkan rak atau
tas pannier, lumayan untuk membawa
barang bawaan kami pulang ke Bandung. Sebagai
perwakilan peserta perempuan, aku didahulukan untuk mengambil nomor
undian. Bismillah, aku ambil satu gulungan kertas kecil itu dan begitu kubuka
nomor enam tertulis di kertas itu. Aku celingukan mencocokan dengan doorprize
yang diletakkan diatas terpal, dan aku mendapatkan sebuah celana PDL,
Alhamdulillah ukurannya pun cocok J. Berbeda denganku yang mendapat kesempatan khusus,
sangke harus mengantri untuk
mendapatkan nomor undian dan ia berhasil mendapatkan doorprize berupa cover
sepeda, Alhamdulillah lumayan J.
Sebelum matahari semakin naik, kami mulai membongkar tenda-tenda dan
mempacking semua barang ke sepeda. Perjalanan berat lainnya menungguku,
perjalanan pulang menuju jalan Setiabudhi yang menanjak. Aku menaksir kami akan
tiba di kampus pukul enam sore, tepat ketika Maghrib berkumandang.