Thursday, January 27, 2011

Hidup itu...

     Tadi siang aku melihat seorang bapak tuna netra memanggul sapu lidi untuk dijualnya, tangan kanannya yang sudah keriput itu memegan tongkat sementara tangan kirinya terangkat menahan sapu lidi. Entah sudah berapa ribu kilometer jalan yang sudah beliau tapaki dengan kaki telanjangnya yang kuat. Ah, tapi kuyakin, hati dan tekadnya lebih kuat. Tekad untuk tetap bertahan hidup, yang semakin hari semakin tidak gampang.
    Andai saja, aku bisa sekuat beliau. Aku tak mampu mengulurkan tangan untuk membantunya, hanya sekedar doa yang bisa terucap untuk beliau. Segala doa terbaikku.
     Semoga. Semoga saja semangatnya tertular padaku...

Thursday, January 20, 2011

Hari Yang Tak Ingin Kuulangi

aku marah.
aku marah karna aku bergantung pada makhluk yang mengaku bernama 'teman'.
aku marah.
aku kecewa.
karna ketika dunia pun tak mau berteman denganku, makhluk bernama 'teman' pun tak mau datang untukku.
aku lebih memilih berteman dengan layar-layar kaca yang tak hidup, papan-papan kunci yang tak hidup, dan juga tetikus yang tak hidup. mereka tidak akan lelah atau benci mendengar aku berkeluh.

aku benci tulisan ini, karna aku membutuhkan teman. a truly friend..


*Tuhan, jangan beri aku hari, waktu, perasaan, dan pikiran seperti seperti ini lagi.

Oh Dede..

     Saya belum bisa dapetin hati Dede, hmmm gimana caranya yah? Kadang saya ingin menyelami pikirannya, mencari-cari dimana dia menyimpan saya dalam pikirannya. Apa yang dia pikirkan tentang saya?
Ah kamu de, saya harus segera memiliki hati kamu. Supaya hari-hari kita akan lebih berarti, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban selama sembilan puluh menit.
     Just give me 'lil bit clue, and i'll get you :D

Tuesday, January 18, 2011

Gimana Sih Cara Ngajar Anak Kelas 4 SD ?

            Well, ini adalah kali pertama saya ngasih privat. Dan dapetlah anak kelas 4 SD ini, sama seperti kebanyakan anak yang lain. Dia suka banget main, dan kadang-kadang gak mau belajar. Mungkin karena belum berpengalaman, saya suka ngerasa stress sendiri. Gimana kalo saya gak bisa bikin prestasi anak ini jadi lebih baik?! Oh NO !!
            Dari pengamatan setelah dua kali pertemuan, anak ini termasuk anak yang cukup pintar. Dia bisa menyelesaikan tugas dari sekolahnya sendiri, walau kadang-kadang bertanya pada saya. Hal itu wajar. Mungkin karena dia bersekolah di sekolah bertaraf internasional, atau ada faktor lain. Ah, jadi harus buka buku kuliah lagi nih. Hehehe. Tapi dia juga manja, yah hal yang wajar juga untuk seorang anak kecil, apalagi dia berasal dari keluarga yang sangat mampu, yang "ini-itu" nya sudah disiapkan oleh pengasuhnya.
            So, gimana sih cara ngajar yang menyenangkan buat anak ini? Supaya dia enjoy belajar dan belajar buat gak manja.              

             

A Journey to A Freedom

Kamis, 14 Agustus 2008

Sore itu, kereta ekonomi Kahuripan membawa kami menuju sebuah kota di tengah pulau Jawa, Jogjakarta. Melintasi temaramnya kota-kota di sepanjang pinggiran rel Kiaracondong – Jogjakarta, dan gelapnya hutan-hutan sepanjang perjalanan kami. Naik kereta ini memiliki kenikmatan tersendiri bagi kami, khususnya saya. Walaupun harus berdesak-desakkan dan saling berebut oksigen, tetapi saya menikmati perjalanan panjang ini. Perjalanan yang akan menghabiskan waktu 10 jam.

Tanpa komando dari siapapun, kami langsung mengatur carrier kami masing-masing. Tas-tas besar itu disimpan di lantai, sebagai alas kaki kami. Setiap orang mulai mem-plot tempatnya masing-masing, tempat duduk di samping jendela menjadi tempat favorit dan jadi bahan rebutan kami. Saya mendapat kehormatan untuk duduk di samping jendela, mereka bilang ini hadiah untuk perempuan satu-satunya dalam tim ini. Lucu sekali pikirku.

Semangat kami menggebu, membayangkan apa yang akan kami temui esok hari disana, di kota sebelah utara Jogjakarta. Sampai larut malam pun, kami masih bermain kartu, kadang mengobrol, kemudian bermain tebak-tebakkan yang aneh untuk menghangatkan suasana. Alhasil, tempat duduk kami menjadi tempat paling ramai malam itu, dimana penumpang yang lain sudah lelap dalam tidurnya menunggu perjalanan usai.

Jum’at, 15 Agustus 2008

Kami tiba di stasiun Tugu dengan muka yang lusuh tanda-tanda kurang tidur, semalam entah sampai jam berapa kami terbangun. Pagi itu sekitar pukul enam Indonesia bagian Jogjakarta, kami segera memburu mesjid stasiun untuk melakukan ritual pagi masing-masing.

Saya disambut oleh puluhan pasang mata yang memandang aneh dan bahasa yang tidak saya mengerti sama sekali. Saya tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, mungkin lagi-lagi karena saya disini sendiri, seorang perempuan yang ikut dalam rombongan laki-laki. Ah, saya tak peduli. Taburkan saja senyum pada setiap orang yang melihatmu, kataku dalam hati.

Gunung Merbabu terletak di antara kota Jogjakarta, Magelang dan Salatiga. Kali ini kami memakai jalur pendakian Wekas yang berada dekat dengan kota Magelang. Kami akan meninggalkan Jogjakarta dengan menggunakan bus.

Matahari tepat berada diatas kepala kami, dan bus pun sampai di Magelang. Sebelum para Adam menunaikan shalat Jum’at, kami mengisi dulu perut yang kosong ini di terminal Tidar. Lidah pun harus segera menysuaikan dengan makanan yang tersedia di kota ini, yang rata-rata semuanya terasa manis. Sudah terisi nasi, perut saya masih menagih makanan lain. Untungnya di tempat kami beristirahat, ada tukang bubur kacang hijau yang sedang mangkal. Tak ada salahnya membeli, anggap saja dessert.

Ternyata penjual bubur itu sama-sama orang Sunda, ah dunia ini terasa sempit. Tapi saya kagum terhadap beliau, berani mencari nafkah dengan jarak yang cukup jauh dari keluarga dan kerabat di kampung halamannya, di Tasikmalaya. Semoga sukses, mang !

Perjalanan harus dilanjutkan, setelah menunaikan kewajiban terhadap Sang Maha Pencipta, kami menuju desa terakhir dengan menggunakan bus lagi, kali ini mini bus. Lagi-lagi perjalanan dengan menggunkan minibus ini membuat ceritanya sendiri, cerita yang menjadi pelengkap pengalaman saya kali ini.

Panorama indah, senyum ramah penduduk desa ini, tawa anak-anak dan cuaca yang sangat pas menyambut kedatangan kami di desa Wekas kali ini perjalanan menggunakan mesin sudah selesai, saatnya fisik dan mental kami lah yang harus kami gunakan dengan bijak.

Jalan terus menanjak, dengan batu-batu besar dan kerikil yang menjadi jalan kami menuju kaki gunung Merbabu. Tentramnya hutan pinus, kemudian hijaunya perkebunan warga yang didominasi oleh daun bawang dan wortel menjadi penyemangat tersendiri bagiku. Kabut sore yang perlahan turun dan kadang membatasi jarak pandang, sungguh nikmat Tuhan yang luar biasa.

Di perkampungan terakhir, kami menuju sebuah rumah yang juga merupakan pos pendakian. Kami harus melaporkan kepada petugas disana berapa lama kami akan mendaki, berapa jumlah tim kami, lewat jalur manakah kami akan pulang, dan tak lupa menyimpan salinan identitas kami disana. Kami pun ditawari pendamping, tapi kami tolak dengan alasan kami cukup memiliki pengetahuan tentang Merbabu dari sumber-sumber yang kami baca.

Karena hari hamper gelap, kami melanjutkan perjalanan. Untungnya pos pertama cukup dekat, hanya dengan berjalan kaki sekitar satu jam. Tenda-tenda didirikan, perbekalan mulai diolah untuk makan malam kami. Malam pertama ini kami gunakan untuk beristirahat untuk persiapan hari esok yang lebih berat. Sebelum tidur kami tak lupa bersyukur atas perjalanan hari ini dan berdoa untuk perjalanan esok hari.

Sabtu, 16 Agustus 2008

Cahaya matahari yang menembus jari-jari daun pinus sampai ke tenda kami, membangunkan kami yang bertekad merayakan hari jadi Indonesia di puncak Merbabu. Semangat kami tak terkalahkan apapun. Tak lupa kami mengisi energy dan melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Target kami hari ini adalah sampai ke puncak Syarif, Merbabu dan membuat shelter disana. Perjalanan semakin berat dan menantang, beban yang saya bawa pun terasa sangat berat dan menghambat perjalanan. Ingin rasanya membuang saja beban itu, tapi dengan begitu saya pun sudah membuang hidup saya.

Langkah demi langkah tetap saya ayunkan. Kesabaran saya benar-benar diuji oleh Tuhan melalui alam ini.

Ketika saya beristirahat, saya dikejutkan oleh seorang ibu tua dengan beban diatas kepalanya berjalan tanpa mengeluh melewati kami. Saya bertanya dalam hati, hendak pergi kemanakah ibu tersebut? Apa yang beliau bawa dalam bakulnya?

Salah seorang teman saya bertanya pada beliau, dengan bahasa Jawanya yang pas-pasan. Beliau mengenalkan dirinya dengan bahasa Indonesia pas-pasan juga. Namanya Ibu Suparti . Ternyata Bu Suparti, hendak berjualan makanan bersama suaminya di pos II. Kami benar-benar tercengang dengan jawaban si ibu, semangat kami pun naik kembali. Kami mengikuti langkah ibu tersebut menuju pos II.

Sesampainya di pos II, sebuah shelter sederhana yang terbuat dari selembar terpal lusuh dan batang pohon kecil dengan seorang kakek yang sedang menyalakan api untuk memasak, meyakinkan diriku bahwa itulah warung milik ibu Suparti. Sambil beristirahat dan mengisi lagi perut yang kosong, kami mencoba berkomunikasi dengan mereka. Sayangnya si bapak tidak bias menggunakan bahasa Indonesia, sehingga kami hanya bisa berkomunikasi dengan si ibu saja. Ibu mengenalkan suaminya kepada kami, bapak Ngatmo namanya.

Menurut si ibu, setiap akhir minggu pos II ini memang selalu ramai oleh para pendaki ataupun orang-orang yang akan berkemah, apalagi momen agustus-an seperti ini. Ibu dan bapak menjual makanan ringan, minuman, dan juga mie instan.

Hati ini pun menjadi terenyuh melihat mereka, perjuangan mereka untuk hidup tidaklah mudah. Lalu mengapa selama ini saya tidak pernah bisa bersyukur atas apa yang saya miliki?

Semakin tinggi tanah yang kami tapaki, semakin jarang pula tanaman yang kami temui. Medan menjadi begitu sulit, pasir dan batu-batu kecil mulai mendominasi. Hanya beberapa cantigi saja yang kami lihat. Dan dua puncak Merbabu pun sudah terlihat.

Sumbing dan Sindoro terlihat dari sini, cantik. Awan putih yang bergerombol kadang tertiup angin menutup panorama ke arah pos II, ke tempat ibu dan bapak hebat tadi. Kami pun saling mengabadikan momen ini lewat foto untuk kenangan dan buah tangan keluarga kami. Masa yang akan dikenang.

Menu malam ini istimewa, karena kami berhasil mencapai puncak tepat waktu. Kami berkemah di puncak Syarif, tempat ini cukup aman untuk dijadikan tempat berkemah. Setelah kami mendirikan shelter kami, mulailah berdatangan pendaki lain. Mereka akan mengadakan upacara memperingati hari ulang tahun Republik Indonesia.

Sabtu, 17 Agustus 2008

Hari ini Indonesia tepat berusia 63 tahun. Kalau saja dulu para pahlawan tidak berjuang merebut kemerdekaan bangsa ini, kami tidak mungkin berdiri disini. Di puncak gunung Merbabu. Dan kalau saja Kartini pada saat itu tidak memperjuangkan hak-hak perempuan, saya tidak akan ada disini, berdiri bersama mereka. Mendaki gunung, menapaki puncak-puncak tertinggi. Saya mungkin akan berada di rumah, entah itu sedang memasak atau mengurus rumah tangga.

Pagi itu juga, setelah upacara kami segera turun. Kami lewat jalur Selo, dekat Boyolali. Merapi yang gagah mengeluarkan asap kuning, berdiri tegak namun seakan melambaikan tangannya agar saya menghampirinya. Ah Merapi, kau menggodaku.

Sampailah kami di stasiun Purwosari, Jawa Tengah. Menunggu kereta yang akan membawa kami pulang.

Tantangan tidak berhenti ketika saya sudah mendapatkan puncak, tantangan yang sebenarnya ada di bawah sana. Tantangan yang sesungguhnya, tantangan kehidupan, tentang bagaimana manusia menyikapi kehidupan yang sudah Tuhan anugerahkan kepada mereka. Berjuang atau menyerah, bergerak atau diam.

Terimakasih pahlawan, berkat jasamu kami menjadi manusia yang bebas. Bebas menikmati kekayaan tanah air dengan bijaksana, mencumbui setiap sentimeter alam Indonesia.

Syukur yang sangat dalam saya panjatkan untuk Sang Maha Pencipta. Terimakasih yang besar untuk tanah air Indonesia. Merdeka !!